Article Detail

Masih Adakah Tempat di Hatiku untuk Bunda Elisabeth?

Masih Adakah Tempat di Hatiku untuk Bunda Elisabeth?
Oleh: Katarina Daryati

Bunda Elisabeth dilahirkan di Belgia, daerah Limburg, Leuth di tepi Sungai Maas pada tanggal 1 November 1789. Orang tuanya, Nicolas Gruyters dan Maria Borde.

Pada tahun 1836 berkat kesetiaannya pada Tuhan yang sangat dikaguminya dan lewat doa-doanya yang tiada henti, maka permohonannya didengarkan dan dikabulkan oleh Tuhan. Akhirnya ia masuk biara. Sebelum masuk biara, ternyata ia pernah bekerja di beberapa tempat. Pengalaman yang paling menyentuh hatinya adalah saat ia bekerja untuk merawat seorang Nyonya selama tujuh tahun. Keluarga ini sangat mementingkan hal dunia dan jauh dari Tuhan. Berkat ketekunan dan kesabarannya dalam merawat dan menghibur nyonya tersebut, ia berhasil untuk mempertobatkan Tuan dan Nyonya tersebut. Dalam jangka waktu lebih dari satu tahun setelah meninggalnya nyonya tersebut, pada tanggal 29 April 1837 kongregasi berdiri.   Spiritualitas Bunda Elisabeth juga diwarnai oleh kecintaannya kepada Bunda Maria Bintang Samudera.  Bunda Elisabeth wafat pada tanggal 26 Juni 1864. Kata-kata indah yang patut kita teladan dari beliau adalah “Menolong orang sakit … membantu, menghibur, dan menyegarkan jiwa raga … itu merupakan tugas hidup yang membahagiakan!”

Bunda Elisabeth adalah seorang wanita yang sangat sederhana. Beliau   dianugerahi kebijaksanaan yang luhur, sikap hati-hati dan kemampuan yang sangat kuat untuk menuntaskan aneka macam persoalan, tetapi lebih dari itu hidup yang sangat mengandalkan Tuhan dan memiliki keutamaan-keutamaan Kristen lainnya.

Ia mengalami Tuhan Yesus telah menangkap dan menahan jiwanya dan ia membiarkan hal itu terjadi. Baginya dunia di sekitarnya menjadi tidak berarti, hanya Tuhan Yesus sendiri saja yang ada. Hal ini dikatakannya: “Tidak ada sesuatu yang menarik lagi baginya, kecuali Tuhan Yesus sendiri”. Untuk memotivasi diri dan pelayanannya ia selalu berdoa kepada Tuhan Yesus:
O … pencinta hatiku yang manis,
Berilah aku bagian dalam duka-Mu
Semoga hatiku bernyala-nyala karena cinta
Buatlah Aku cakap dalam pengabdian-Mu
Tetapi tidaklah bermanfaat bagiku saja
Pun Juga bagi keselamatan sesama.

Doa ini menjadi spirit baginya dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan, terlebih di saat-saat ia mengalami kesulitan dan tantangan.

Dalam hal ini penulis bersyukur boleh menimba spiritualitas dari Bunda Elisabeth. Dengan mendalami spiritualitas tersebut, ternyata banyak mutiara-mutiara yang indah di dalamnya. Mutiara-mutiara itu selama ini kurang kita rawat sehingga tidak memancarkan sinarnya. Dalam hal ini, penulis berandai-andai: “Seandainya semua karyawan mendalami dan menghidupi spiritualitas tersebut, betapa indahnya dunia. Betapa indahnya lembaga kita yang menjadi tempat untuk mengembangkan diri dan tempat untuk persemaian karya pelayanan. Meskipun kita berkarya dalam dunia pendidikan, pelayanan itu harus tetap dinomorsatukan. Kita tidak hanya memberikan pelayanan prima supaya customer banyak tetapi lebih melihat kerelaan kita masing-masing untuk melayani sesama dengan sepenuh hati.

Untuk mewujudkan spiritualitas CB dalam pelayanan pendidikan, dibutuhkan nilai-nilai yang harus dihidupi. Nilai-nilai yang diperjuangkan dalam perwujudan tersebut tertuang dalam label Cc5 (Compassion (C), celebration (C1), competence (C2), conviction (C3), creativity (C4), community (C5).

Nilai-nilai itu menjadi “Roh” bagi kita dalam berkarya. Dengan menjiwai nilai-nilai tersebut dan selalu berjuang untuk menghidupinya maka kita sebagai pengikut Bunda Elisabeth juga bisa meneladan dan menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Sebagai seorang yang professional : bekerja bukan semata-mata untuk mendapatkan upah tetapi bekerja untuk dapat mengembangkan diri kita serta melayani Tuhan dan sesama. “HIDUP TARAKANITA”

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment